Kamis, 16 Mei 2019

PENDIDIKAN DEMOKRATIS

           Di Barat abad pertengahan segala pengajaran diselenggarakan oleh Gereja Katolik. Pengajaran itu diberika oleh rahib-rahib dan bersifat keagamaan. Setelah pembentukan gereja baru oleh Luther dan Calvin, maka di beberapa negeri pengajaran itu dipengaruhi oleh pendeta yang tidak tergolong dalam Gereja Katolik, tetapi tujuan pengajaran itu tetap tidak berubah, yaitu memberikan pendidikan agaman. Tujuan pengajaran itu terutama mendidik calon-calon guru agama untuk sekolah-sekolah agama. Sebagian besar anak-anak rakyat biasa tidak mendapat pengajaran dan anak-anak yang dapat pengajaran diberi pelajaran menghapalkan perintah-perintah agama dan doa.[1]

           Semakin berkembangnya dunia perdagangan, industri, dan pelayaran. Semakin bertambanya kebutuhan-kebutuhan akan sumber daya manusia yang menguasai pengetahuan yang bersifat duniawi. Karena perkembangan ini menimbulkan perubahan dalam keadaan itu. Namun pimpinan gereja tidak setuju dengan perkembangan tersebut, maka terpaksa pemerintahan, yaitu pemerintahan kota dan negara yang mencampuri urusan pengajaran.[2]

            Dengan demikian, pengajaran-pengajaran yang diberikan oleh gereja tentang keagamaan menjadi berkurang artinya, dan pengajaran-pengajaran yang diberi pemerintah tentang keduniaan menjadi bertambah naik artinya. Karena pelajaran-pelajaran yang bersifat keduniaan memberikan pelajaran elementer yang praktis dalam kehidupan sehari-hari. Seperti membaca, menulis, dan berhitung merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar. Sedangkan, pengajaran yang diberikan oleh gereja hanya bersifat tentang keagamaan di sekolah-sekolah agama, ialah menghapalkan pengetahuan yang sederhana tentang agama dan bernyanyi, karena bernyanyi merupakan pelajaran yang penting untuk sembahyang di gereja.[3]

            Bertambahnya pengetahuan teknik, timbulah berbagai ilmu baru, seperti: ilmu bumi, sejarah, biologi dan kemudian ternyata, sekolah rendah memerlukan persiapan tentang pengetahuan baru itu. Sehingga pelajaran-pelajaran itu dicantumkan ke dalan daftar mata pelajaran sekolah rendah. Dengan demikian, ilmu pengetahuan  semakin lama semakin bertambah. Semakin luas juga perdagangan dan industri di dunia semakin banyak pula orang-orang yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan untuk menduduki jabatan-jabatan yang ada. Mereka itu harus diberikan pengajaran-pengajaran yang dapat digunakan dalam jabatan-jabatan tersebut. Akibatnya pengajaran itu diperluas, dan semakin lama semakin banyak mempunyai murid. Golongan-golongan rakyat  yang turut mendapatkan pengajaran semakin lama semakin banyak, dan di beberapa negeri malah diadakan peraturan wajib belajar.[4]
     
       Perkembangan politik, terutama revolusi Perancis menyebabkan negara-negara itu mengadakan peraturan wajib belajar. Disini pengajaran itu harus diberikan tanpa memungut biaya. Dengan kata lain pengajaran ini dimulai dari proses pembelajaran, hingga sekolah-sekolah dibiayai dan dipelihara oleh negara. Semua murid-murid harus diberikan pelajaran membaca, menulis, menghitung, bahasa, geografi, pengetahuan alam, dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban dalam berwarga negara. Perkembangan pertukangan dan perusahaan juga memerlukan sekolah-sekolah yang dapat memberikan pengajaran yang relavan dalam perkembangannya, maka senantiasa harus diperbanyak.[5]
          
       Kaum wanita juga terlibat dalam dunia perburuhan dan pemilihan umum, perlu diperhatikan perluasan pengajaran terhadap anak-anak perempuan. Maka diadakan sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak perempuan, dan sekolah campuran untuk anak laki-laki dan perempuan. Agar anak perempuan memiliki kesetaraan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan. Dengan demikian, pengajaran-pengajaran ini jadi memiliki sistem dalam masa kini yaitu sekolah rendah atau sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi yang semuanya menyambung. Karena pengetahuan senantiasa bertambah dan masyarakat juga bertambah banyak. Maka anak-anak perlu dipersiapkan pengajaran yang lebih intensif dan lebih lagi untuk jabatan-jabatan mereka kelak di masyarakat.[6]

Dulu pengajaran yang diberikan cukup beberapa tahun saja di sekolah rendah. Namun, lambat laun tumbuh menjadi wajib belajar 7 tahun bahkan lebih. Di beberapa negara ada yang mewajibkan sekolah sampai umur 16 tahun, bahkan sampai umur 18 tahun. Di Indonesia sendiri wajib belajar selama 9 tahun. Akibatnya semakin lama dan semakin banyak pendidikan atau pengajaran yang dibutuhkan tak dapat dibiayai lagi oleh sebagian penduduk bahkan negara. Walaupun sekolah rendah tidak dipungut biaya, tapi disini orang-orang berusaha juga agar pengajaran menengah agar tidak dipungut biaya dan perguruan tinggi mendapatkan beasiswa.[7]

Mau tidak mau harus diakui, bahwa perkembangan pengajaran di beberapa negeri sudah mengalami kemajuan dalam pendidikan yang demokratis. Hal ini bisa dilihat sudah banyak golongan yang tidak lagi tertinggal dalam pendidikan dan mendapatkan kesempatan pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan zaman dulu. Walaupun pendidikan masih sukar didapatkan oleh orang-orang yang sangat terpinggirkan, dan dalam praktek anak-anak orang kaya lebih banyak yang mendapatkan kesempatan dalam pendidikan.

Dari segi metode, dulu pendidikan atau pengajaran diberikan secara individual atau bersifat perseorangan. Dimana para tenaga pengajar menyesuaikan diri untuk menerapkan suatu metode pengajaran kepada murid dengan memahami kelebihan dan kekurangan sang murid. Namun, semakin bertambah luasnya pengajaran dalam masyarakat, membuat orang-orang berusaha mencari jalan keluar dengan menerapkan pengajaran kelas. Pengajaran kelas ini memiliki keburukan terbanyak dibanding dengan kebaikannya. Keburukannya adalah murid-murid terlalu disamaratakan dalam proses belajar, sehingga murid dituntut untuk menyesuaikan diri dengan pengajaran kelas. Walaupun mereka berbeda kesanggupannya.[8] Pengajaran itu awal mulanya sangat formalistic: anak-anak dibuat tunduk kepada guru dan menerima semua ajaran yang diberikan oleh gurunya mentah-mentah. Sehingga terkesan dogmatis. Hal ini juga berlaku pada perguruan tinggi klasik.

Perkembangan dari abad kea bad, bukan hal-hal yang gaib yang mendapat perhatian penuh, tetapi hal-hal yang sewajarnya. Bukan kepercayaan melainkan pikiranlah yang menentukan hal konkret. Bukan perasaan tetapi otak, budilah yang terpenting. Semuanya ini memberi pengaruh besar dalam perkembangan pengajaran. Dalam pengajaran semakin lama, semakin berkembang metode induktif. Pikiran, pengamatan, serta penyelidikan sangat diutamakan.[9] Dalam masyarakat modern, faktor yang terpenting ialah produksi. Untuk meningkatkan dan memperbaiki produksi harus memperhatikan proses kerja, cara kerja, dan para pekerja. Tidaklah mengherankan apabila kerja itu semakin lama semakin digunakan dalam asas pendidikan. Jerman merupakan salah satu negara yang mendirikan sekolah kerja.[10] Maksud dari sekolah kerja ini agar anak-anak tidak terpaku dengan pengetahuan yang ada di buku. Mereka belajar dengan menggunakan perkakas-perkakas yang sudah di fasilitasi oleh sekolah untuk memikirkan suatu barang yang dapat mereka buat. Pekerjaan tangan lebih ditekankan disini. Membuat mereka bebas berpikir dalam menyelesaikan masalahnya. Dari proses ini pekerjaan yang baik juga harus menggunakan pikiran.

Dan akhirnya dengan cara ini, hubungan antara golongan pekerja otak dengan golongan pekerja tangan tidak terpisah-pisah, antara teori dan praktek. Dengan demikian, sekolah kerja dijadikan sebagai alat menuju cita-cita dan praktek demokrasi. Sekolah yang sejak dulu sangat terpisah dengan masalah yang ada dikehidupan sehari-hari. Lebih dihubungkan dengan kehidupan yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan pula perubahan bahan-bahan pembelajarannya.[11] Bahan-bahan pembelajaran yang biasa diajarkan sekolah pada jam pelajaran tetap dan terpisah dari pelajaran yang lainnya, tak dapat memberikan pengertian kepada anak dalam kenyataan yang ada. Dengan bahan pembelajaran ini, anak-anak meninggalkan cara formalistis seperti menghapal. Karena sekolah modern bertujuan untuk membuat sang murid berpikir menyelesaikan masalahnya. Salah satu aliran dalam Filsafat Pendidikan yang menurut saya demokratis, ialah:
       
            A.    Filsafat Pendidikan Progresivisme

Progresivisme berasal dari kata progressive, merupakan sifat alamiah, kodrati, yang berarti perubahan. Perubahan berarti sesuatu yang baru, sungguh-sungguh merupakan keadaan yang nyata dan bukan sekedar pengertian atas realitas. Filsafat ini berpandangan bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar pada masa yang akan datang. Untuk memecahkan masalah-masalah, para siswa dibekali dengan strategi-strategi pemecahan masalah yang relevan pada masa kini. Melalui analisis diri dan refleksi yang berkelanjutan, individu dapat mengidentifikasi nilai-nilai yang tepat dalam waktu yang dekat.[12]

Sekolah merupakan masyarakat yang demokratis dalam ukuran kecil, disini siswa akan belajar dan praktek keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup yang demokrasi. Dengan pengalamannya, siswa akan siap untuk menghadapi perubahan yang ada di dunia. Karena realitas yang terus-menerus berubah, maka kaum progresif tidak memusatkan perhatiannya pada Body of Knowledge. Sama seperti halnya dengan pandangan perenialisme dan esensialisme. Kaum progresif lebih menekankan “bagaimana berpikir”, bukan “apa yang dipikirkan”. Progresivisme berpandangan bahwa kasih sayang dan persaudaraan lebih berharga dalam pendidikan  daripada persaingan dan usaha pribadi. Karena itu, pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman, yang mengarah pada rekonstruksi manusia dalam kehidupan sosial. Persaingan tidak ditolak, namun persaingan tersebut harus mendorong pertumbuhan pribadi.[13]

Pendidikan akan dikatakan demokrasi apabila, pendidikan tersebut dapat di-diferensiasi-kan dengan sedapat-dapatnya sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakat anak-anak, serta memberikan kebebasan kepada anak untuk berpikir mengembangkan pendapatnya dalam menyelesaikan suatu persoalan. Disini guru hanyalah sebagai pemeberi fasilitas dan membantu anak untuk memberi pencerahan apabila anak tersebut mengalami kebuntuan. Dengan hal ini pendidikan yang diberikan akan terasa sangat adil, dan tidak memaksa secara otoriter. Karena kemampuan setiap anak berbeda-beda.




[1] Rahman, Taufiq. 2018. Pengantar Filsafat Sosial. Lekkas, Bandung. Hlm 316-317
[2] Ibid., hlm 317
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm 318
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm 319
[8] Ibid., hlm 320
[9] Ibid., 322-323
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm 324
[12] Sunarya, Yaya. 2012. Filsafat Pendidikan. Arfino Raya, Bandung. Hlm 66-67
[13] Ibid.
                                                                                                                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar