Sabtu malam, 03 November 2018 merupakan diskusi pertamaku bersama Aliansi Mahasiswa Reforma Agraria. Diskusi ini berlangsung sekitar pukul 19.45 hingga 22.30 wib di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung tepatnya di Taman Kujang. Teman-teman di Aliansi Mahasiswa Reforma Agraria biasa menyebut diskusi ini sebagai "Malam Solidaritas". Tema yang dibahas kali ini yaitu "Penderitaan Buruh Migran". Judul artikel ini merupakan slogan yang selama ini diserukan oleh para kaum buruh beserta aliansinya. "We Are Worker We Are Not Slave" yang artinya "Kami Adalah Pekerja Kami Bukanlah Budak" adalah sebuah slogan yang diserukan ketika para Kaum Buruh ini menghadapi Pemerintahan yang Feodal dan orang-orang kapitalis yang selama ini selalu menindas, mengabaikan, menganggap rendah, tidak berlaku adil, dan merampas hak-hak daripada Kaum Buruh dan orang-orang proletar lainnya.
Fenomena yang terjadi kepada Kaum Buruh saat ini merupakan akibat dari sistem feodalisme dan imperialisme. Dimana orang-orang kelas menengah ke bawah selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dari orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kapitalis. Upah buruh yang dianggap rendah, perampasan hak-hak terhadap kaum buruh, dan kurangnya perlindungan terhadap orang-orang kelas menengah ke bawah adalah contoh dari permasalahan ini. Sering kali kita mendengar adanya berita Aksi Demo Buruh yang menuntut pemerintah agar bisa memberikan keadilan, untuk mereka Kaum Buruh yang selama ini menganggap telah berkontribusi besar untuk pemasukan negara. Orang-orang kapitalis dan Tuan Tanah selalu mempekerjakan buruh dengan semena-mena, mengeksploitasi tenaga dan memberi upah rendah, dan pemerintah dianggap kurang perhatian dalam masalah ini. Pemerintah dinilai tidak bisa melindungi hak-hak, dan memberi jaminan perlindungan yang kuat terhadap Kaum Buruh.
Masalah selanjutnya, pemerintah tidak dapat menekan angka pengangguran di Indonesia. Kurangnya lapangan pekerjaan, dan monopoli tanah menjadi penyebab hal ini terjadi. Minimnya lapangan pekerjaan, membuat sebagian masyarakat merantau menjadi Tenaga Kerja Indonesia "TKI", dan sebagian yang lain menganggur. Monopoli tanah menjadi penyebab hilangnya mata pencaharian para petani, sehingga banyak petani yang tidak lagi memiliki penghasilan. Di daerah Indramayu, Majalengka, dan Cirebon banyak warga-warganya yang menjadi TKI. Mereka yang menjadi TKI karena sulitnya mendapat pekerjaan di negeri sendiri, sehingga tidak ada jalan lain selain mengadu nasib di negeri orang. Dan menjadikan Tenaga Kerja Indonesia menjadi penghasil devisa terbesar negara Republik Indonesia ini.
Namun, hal itu tidak sebanding dengan perhatian dan keberpihakan yang diberikan pemerintah terhadap Buruh Migran ini. Karena pada tanggal 29 Oktober lalu, lagi-lagi pemerintah kecolongan informasi mengenai dieksekusinya salah seorang TKI asal Indramayu Jawa Barat, yang bernama Tuti Tursilawati. Wanita 34 tahun ini dieksekusi atas tuduhan pembunuhan terhadap ayah majikannya yang terjadi pada tanggal 11 Mei 2010 silam, padahal Tuti hanya mecoba untuk membela diri terhadap pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayah majikannya itu. Tuti juga sempat melarikan diri ke kota Mekkah dan membawa perhiasan serta uang majikannya sebesar SR 31.500, dan disana ia diperkosa oleh sembilan orang pemuda serta semua uangnya diambil oleh pemuda tersebut. Selama depalan bulan Tuti bekerja disana, enam bulan gajinya belum dibayarkan. Setelah itu Kepolisian Saudi menangkap sembilan pemuda tersebut dan langsung menghukumnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Delapan tahun penahanan yang cukup lama, akhirnya tanpa adanya pemberitahuan kepada Dubes RI di Arab Saudi, Tuti Tursilawati pun dieksekusi pada Senin, 29 Oktober 2018 lalu.
Sungguh ironi dengan kejadian seperti ini, Pemerintah Saudi yang dianggap kurang etis dalam mengambil keputusan ini, karena tidak memberi notifikasi kepada Pemerintah RI sebelumnya. Ditambah kurangnya peraturan undang-undang yang pro terhadap Buruh Migran, yang dapat melindungi para Buruh Migran dari penindasan dan perampasan hak-haknya. Tapi hal ini dapat dicegah, dapat diminimalisir apabila tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup di Indonesia. Sehingga tak perlu bagi warga Indonesia untuk mengadu nasib di negeri orang. Selalu terdengar, selalu ada saja kabar yang mengatakan bahwa Buruh Migran selalu ditindas, dilecehkan, disiksa, tak dibayar upahnya, bahkan hak-haknya sebagai Buruh dirampas begitu saja oleh orang-orang feodal kapitalis. Pemerintah menyebut Buruh Migran dengan "Pahlawan Devisa", tapi makna itu hanya kembali sebagai Perbudakan saja, iya perbudakan modern. Tuti Tursilawati merupakan salah satu contoh bahwa seorang buruh tidak kurang dari seorang budak yang ditindas. Kematian Tuti merupakan kelalaian pemerintah. Fokus pemerintah saat ini tidak memberi jawaban terhadap apa yang dibutuhkan Kaum Buruh. Buruh adalah Pekerja tapi Buruh bukanlah seorang Budak. HIDUP BURUH!!!😁✊
Mantap lah bro
BalasHapus